JAKARTA – Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus mengalami peningkatan. Selama 3 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), profit BUMN naik 30 persen. Posisi hutangnya juga aman, yaitu hanya 6,29 persen dari aset.

Rapor positif terus dibukukan BUMN di era kepemimpinan Jokowi. Menggunakan ilustrasi empat bank BUMN, laba bersih R p17,61 Triliun mampu dihasilkan sepanjang kuartal pertama 2018. Jumlah ini naik 20,96 persen dari periode sama tahun 2016 yang ada di level Rp14,55 Triliun. Kompetensi ini disumbangkan oleh Bank Rakyat Indonesia, Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, dan Bank Tabungan Negara.
“Jadi kinerja BUMN masih dipertanyakan? BUMN sekarang ini justru dalam keadaan sehat. Kinerjanya terus membaik bahkan menjadi sangat positif pada era kepemimpinan Pak Jokowi,” jelas Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam siaran pers, Sabtu (4/8).
Penjelasan mantan Panglima TNI tersebut bukan tanpa dasar. Semuanya berbasis fakta, berupa data-data valid. Berdasarkan laporan Kementerian BUMN, profit naik 30 persen dalam 3 tahun terakhir. Sepanjang 2017, BUMN melalui 143 perusahaannya mendapatkan keuntungan Rp 187 Triliun. Jumlah tersebut pun surplus Rp44 Triliun. Pada akhir 2014, keuntungan BUMN berada di grid Rp143 Triliun.
“BUMN sangat kompetitif. Semuanya tumbuh setiap tahun. Keuntungan yang didapatkan oleh BUMN dalam tiga tahun terakhir naik cukup signifikan. Total keuntungan tahun 2017 kemarin sampai Rp 187 Triliun. Ini jumlah angka yang besar,” kata Moeldoko.
Lalu, bagaimana dengan aset BUMN? Di bawah kepemimpinan Jokowi, perusahaan pelat merah tersebut mengalami pertumbuhan aset hingga 60 persen hingga 2017. Pertumbuhan asetnya surplus Rp2.700 Triliun dalam tiga tahun terakhir. Sebab, pada 2017 jumlah total aset yang dimiliki BUMN berjumlah Rp7.200 Triliun. Bandingkan tiga tahun lalu, aset BUMN ini berada di level Rp 4.500 Triliun pada 2014.
Memiliki aset Rp 7.200 Triliun pada 2017, jumlah itu juga naik Rp 875 Triliun dari tahun sebelumnya. Sebab, aset BUMN berada di slot Rp 6.325 Triliun pada 2016. “Nilai aset BUMN saat ini tumbuh sangat besar. Apresiasi harus diberikan bagi Kementerian BUMN yang sudah bekerja keras untuk membuat perusahaannya menjadi kompetitif. Kompetitif sebagai penggerak ekonomi,” ujar Moeldoko.
Meledaknya keuntungan BUMN pun berbanding lurus dengan penyusutan kerugian. Pada 2017 lalu, hanya 12 BUMN saja yang rapornya merah. Padahal pada 2016, jumlah rapor minor masih dimiliki 26 BUMN. Bila diuangkan, jumlah kerugian 12 BUMN tersebut mengecil mejadi Rp5,2 Triliun. Penyusutan kerugian memang tipis, lantaran pada 2016 berada di angka Rp 6,7 Triliun.
“Sebenarnya tidak ada masalah. Keuntungan global besertanya asetanya tumbuh sangat signifikan. Ini tentu capaian luar biasa. Memang ada beberapa BUMN yang masih terseok-seok. Namun, semuanya ini sudah dievaluasi dan perbaikan sudah dilakukan terhadapnya. Kami optimistis, tahun ini semua akan lebih kompetitif,” tegasnya.
Derasnya arus inkam yang masuk pun membuat posisi hutang luar negeri BUMN aman. Mengacu data dari Kementerian BUMN, beban hutan luar negeri perusahaannya sekitar Rp453 Triliun. Jumlah tersebut hanya 10% dari total hutan luar negeri keseluruhan. Dengan aset besar hingga Rp 7.200 Triliun dan nilai keuntungan kompetitif, risiko gagal bayar pun akan jauh dari BUMN.
“Tidak ada masalah dengan posisi hutang luar negeri dari BUMN. Semuanya ini sudah dikalkulasikan dengan bagus. Posisi hutang semuanya aman dan bisa terselesaikan dengan baik,” ujarnya.
Hutang luar negeri BUMN memang mencapai Rp 453 Triliun atau 6,29 persen dari aset. Namun, anggaran tersebut digunakan untuk hal-hal produktif. Dana pinjaman yang masuk digunakan untuk pembiayaan infrastruktur tol, bandara, pelabuhan, dan IPP. Selain berbagai keuntungan jangka panjang, pembangunan infrastruktur juga bisa memiliki nilai “multiplier effect” yang besar bagi masyarakat.
“Langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh BUMN sudah tepat. Mereka juga sangat memikirkan kemanfaatan secara ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat. Pada akhirnya masyarakat ini yang sejahtera,” tutupnya
Untuk 2019, Kementerian BUMN menargetkan, dividen pay out ratio dari industri jasa keuangan, jasa survei dan jasa konsultasi yang berisi 11 BUMN mencapai Rp 30,23 triliun pada 2019. Nilai tersebut meningkat dibandingkan tahun 2018 yang mencapai Rp 28,01 triliun.
Deputi Bidang Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian BUMN Gatot Trihargo menjelaskan, dari sisi kontribusi, dividen pay out ratio dari industri jasa keuangan, jasa survei dan jasa konsultasi mencapai 67,57% dari total keseluruhan dividen BUMN pada 2019. “Kontribusinya meningkat dibandingkan 2018 yang mencapai 64,04%,” ujar dia di Jakarta, Kamis (6/9/2018).
Lebih lanjut, dari 11 BUMN yang berada di bawah jasa keuangan, jasa survei dan jasa konsultasi, BUMN yang berstatus sebagai perusahaan terbuka menyumbang dividen paling besar senilai Rp 26,393 triliun. Di dalam perusahaan tersebut, terdapat PT.Telkom (Persero) Tbk (TLKM) dan tiga bank BUMN.
Dilihat dari pembagian persentase dividen, Kementerian BUMN menetapkan range 0-70%. BUMN yang bisa memberikan dividen 0% adalah BUMN yang merugi. Lalu 0-20% untuk BUMN yang memberikan pelayanan sosial, ekonomi kerakyatan dan hari tua, seperti Taspen dan Asabri.
Kemudian, range dividen 20-45% bagi BUMN yang bersifat komersial, namun mempertimbangkan kebutuhan investasi. Selanjutnya, range lebih besar dari 45% bagi BUMN yang komersial dan berprofit tinggi.
Gatot mengatakan, pihaknya optimistis bisa mencapai target tersebut.
“Mudah-mudahan bisa tercapai, masih ada waktu, kami akan berusaha agar bank bisa menjaga CKPN di level konservatif,” kata dia.