JAKARTA – Fenomena politik yang menarik dalam Pilpres 2014, maraknya negative campaign dan black campaign dalam pelaksanaannya. Realitas politik ini disebabkan hanya ada dua pasang kandidat yang bertarung antara pasangan Brobowo-Hatta dan Jokowi-JK. Head to Head dari kedua pasangan ini, menyebabkan stakeholder tim sukses melakukan strategi yang saling menyerang satu sama lainnya.

Dimana, salah satu isu yang muncul kepermukaan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang dilakukan oleh Probowo yang diduga penghilangkan sejumlah aktivis politik (1998). Hal ini menjadi menarik untuk dicermati: Pertama, ketika Probowo berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri dalam Pilres 2009, masalah HAM tidak muncul kepermukaan. Kedua, ketika JK bertanya tentang masalah HAM dalam Debat Pilpres putaran pertama. Probowo menjawab: “tanyakan ke atasaan saya”, jawaban tersebut tentunya ditujukan kepada Wiranto sebagai pendukung Jokowi-JK. Realitas ini menunjukan bahwa permasalahan HAM, hanya dijadikan sebagai komoditas politik untuk kepentingan kelompok tertentu.
Permasalahan HAM di Indonesia, ibarat benang kusut karena tidak ada political will dari pemerintah yang berkuasa untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat secara tuntas, termasuk di era Pemerintahan Megawati. Bahkan, terjadi kasus pembunuhan Munir, aktivis HAM. Kasus-kasus pelangaran HAM berat yang terjadi, sebut saja-misalnya: Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus Talangsari (1989), Kasus Orang Hilang (1997-1998), Kasus Trisakti (1998), Kasus Kerusuhan Mei (1998), Kasus Semanggi I (1998), Kasus Semanggi II (1999), Kasus Timor Timur (1999), Kasus Abepura (2000), Kasus Wasior (2001-2002), Kasus Wamena (2003), dan Kasus DOM Aceh. Ironisnya, dari semua kasus HAM berat yang terjadi hanya 18 berkas perkara yang masuk pengadilan HAM, 12 berkas kasus Timor Timur, 4 berkas kasus Tanjung Priok, dan 2 berkas kasus Abepura. Namun, hanya menyerat 1 orang terdakwa yang dinyatakan bersalah dan menjadi terdakwa pun bukan otak dari pelanggaran HAM berat tersebut. Sedangkan, yang lainnya bebas.
Dosa Turunan
Masalah kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat (gross violation of human rights) meliputi : (1) Pembunuhan masal (Gonisida), (2) Pembunuhan sewenang-wenang, (3) Penyiksaan, (4) Penghilangan orang secara paksa, ( 5) Perbudakan/ diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. Namun, kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, tidak terlepas dari sistem komando dalam tubuh militer sebagai warisan rezim Soeharto.
Dimana, pemerintah berkuasa menggunakan kekerasan militer dalam menyelesaikan masalah merupakan bentuk dari tindakan eksesif yang dilakukan dari kelanjutan Kebijakan Pemerintahan Soeharto. Hal ini bisa dilihat pada proses penanganan yang dilakukan pemerintah berkuasa yang cenderung menghalalkan berbagai cara mulai dari penangkapan, penyiksaan, penahanan, dan tindakan militer terhadap orang atau kelompok yang dianggap menganggu sistem pemerintahan (penguasa).
Kita bisa melihat kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan militer, sebut saja kasus penculikan para aktivis politik (1998) yang diduga melibatkan Prabowo, telah terjadi penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis. Menurut catatan Kontras terdapat 23 orang yang menjadi korban. Dimana, 1 orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya yang masih hilang. Kasus Talangsari, yang diduga melibatkan Kolonel AM Hendropriyono Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung telah mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Dimana tanggal 7 Februari 1989, Hendropriyono mengerahkan tiga platon tentara yang berjumlah sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung. Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), setidaknya terdapat 246 orang penduduk sipil yang tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara, menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan terdapat 47 korban yang dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Namun, dari kedua kasus ini, tentunya pelaku tidak berdiri sendiri karena yang bersangkutan bagian dari sistem komando dalam tubuh militer, termasuk kasus Probowo tentunya Wiranto sebagai atasannya tidak bisa lepas tanggan dan harus ikut bertanggungjawab.
Rekonsiliasi Nasional
Kasus pelanggaran HAM berat Indonesia tidak pernah diselesaikan secara tuntas dan sengaja dipelihara untuk kepentingan-kepentingan politik kelompok tertentu. Seharusnya pasca reformasi masalah pelanggaran HAM bisa menjadi momentum yang tepat untuk menyelesaikannya, baik melalui reformasi Undang Undang HAM maupun penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM berat melalui pengadilan.
Namun dalam realitasnya, masalah pelanggaran HAM masih menyisakan masalah karena tidak ada political will pemerintah yang berkuasa termasuk membuat pengadilan Ad Hoc yang independen untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan melanggar HAM. Sehingga, banyak pejabat militer yang dianggap bertanggungjawab terhadap pelanggaran HAM berat ditolak di negara-negara tertentu, sebut saja misalnya- Wiranto dan Sutiyoso. Kasus pelanggaran HAM Timor Timur merupakan kasus yang menarik karena sempat menjadi isu internasional melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1264 tentang dilakukan penuntutan dan pertanggungjawaban pelanggaran HAM. Namun, Pemerintahan Gus Dur meyakinkan masyarakat internasional bahwa Indonesia mampu menyelesaikannya sendiri. Realitas politik ini bisa dilihat dari kesepakatan Indonesia – Timor Timur menyelesaikannya dengan membentuk komisi persahabatan.
Melihat realitas politik yang berkembang, Indonesia tentunya tidak terus menerus tersandara dalam masalah HAM sebagai dosa turunan. Perlu rekonsilidasi nasional sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Afrika Selatan di era Nelson Mandela yang memberikan amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Hal ini bisa juga dilakukan di Indonesia dengan terlebih dahulu: Pertama, perlu adanya pengakuan pelaku secara terbuka tentang keterlibatannya. Kedua, meminta maaf kepada korban dan keluarganya. Ketiga, memberikan konpensasi terhadap korban.
Setelah itu, pemerintah memulai dari awal penegakan HAM dengan memberikan imun kepada Komas HAM guna memberikan kewenangan penuh dalam mengadili para pelaku pelangaran HAM melalui revisi Undang-Undang No. 26/2000 yang tidak berlaku surut. Penyelesaian secara politik ini, akan membawa kewibawaan Bangsa Indonesia di fora internasional dalam masalah penanganan HAM. Jika tidak, masalah HAM akan selalu menjadi komoditas politik yang hanya digunakan sebagai konsumsi politik untuk kepentingan kelompok tertentu, akan tetapi tidak akan pernah menyentuh secara subtantif penyelesaian masalah HAM itu sendiri. Ironis!
Oleh;
Aspiannor Masrie
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unhas