JAKARTA – Elektabilitas Joko Widodo untuk Pilpres 2019 mengalami peningkatan. Dalam survei yang dilakukan lembaga survei SMRC pada 7 hingga 14 September 2018, terjadi kenaikan elektabilitas Jokowi dari 57,2 persen pada Mei menjadi 60,2 persen. Sementara itu, untuk Prabowo Subianto dengan periode yang sama mengalami penurunan menjadi 28,7 persen dari sebelumnya 32,2 persen.

Direktur Riset SMRC Djayadi Hanan dalam pemaparan survei, Minggu (7/10), menjelaskan, Jokowi berpeluang menang dan jadi presiden lagi jika tren tersebut terus stabil hingga tahun depan. Hal itu berkaca pada kasus SBY yang stabil dan tidak pernah tersusul Megawati pada Pilres 2009. Begitu juga tren Jokowi yang tidak pernah tersusul Prabowo pada Pilpres 2014.
Direktur Eksekutif Populi Centre, Usep S Ahyar menyebut blunder Jokowi selama memimpin, di antaranya pembubaran HTI, pelarangan gerakan #2019GantiPresiden di sejumlah daerah, kasus Rizieq Shihab, dan lambatnya penanganan kasus Novel Baswedan. Jokowi dianggap tidak pro-kebebasan berserikat, padahal dalam iklim demokrasi seluruh aliran mestilah dilindungi keberadaannya.
Meski demikian, Usep menyebut, blunder tidak akan menggerus suara pemilih loyal Jokowi, melainkan pemilih yang masih belum menentukan pilihan atau lazim disebut swing voters.
Sementara itu, peneliti dari SMRC Sirojudin Abbas menilai hal-hal di atas tidak bisa dikatakan blunder yang dapat menggerus elektabilitas (kedipilihan) Jokowi. Menurut Sirojuddin, hal-hal di atas merupakan bagian dari kebijakan yang masih bisa dijelaskan dasarnya.
“Jadi, kalau seperti pembubaran HTI begitu, asal bisa dijelaskan ke masyarakat dengan baik alasannya, saya pikir tak akan berpengaruh,” kata Sirojudin. “Misalnya kalau dijelaskan itu demi stabilitas nasional,” imbuhnya.
Direktur Relawan Jokowi-Ma’ruf Maman Imanulhaq menyatakan kebijakan yang tidka populis itu diambil untuk menciptakan stabilitas nasional.
“Sudah menjadi tanggung jawab Pak Jokowi sebagai Presiden untuk menjaga stabilitas nasional. Apalagi dari organisasi yang anti-Pancasila,” kata Maman kepada Tirto.
Maman menambahkan, pembubaran HTI juga atas pertimbangan banyak kalangan, termasuk ormas Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU. Soal lain, menurut Maman, kebijakan tersebut juga diambil berdasarkan pertimbangan menciptakan stabilitas. “Kan tidak di semua daerah polisi membubarkan #2019GantiPresiden. Itu juga masyarakatnya kok yang memang tidak setuju. Kalau kami, ya silakan saja,” jelasnya.