JAKARTA – Sebuah artikel berisi opini negatif mengenai program pemberian sertifikat tanah gratis oleh Pemerintah. Menurut artikel tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut ribuan konflik agraria tidak tersentuh. Sebagian di antaranya ditangani 15 kantor LBH Indonesia dengan jumlah luas lahan konflik 338.280 hektar.

YLBHI menggiring opini pelaksanaan reforma agraria didanai dari hutang Bank Dunia sebesar 200 juta Dollar (2,9 Triliun). Uang hutang ini digunakan untuk program percepatan reforma agraria (pembuatan kebijakan satu peta) termasuk di dalamnya sertifikasi tanah dalam bentuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Mereka menyebut, program mengulang proyek Administrasi Pertanahan pada 1990-an yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Tanah diperjualbelikan, jadi alat mengakses kredit bank. Dalam prakteknya, PTSL justru melegitimasi penjarahan kembali tanah-tanah yang sudah direklaim/digarap kembali oleh petani sebagaimana terjadi di Pandanwangi, Lumajang, Jawa Timur.
YLBHI- LBH mengklaim telah mendampingi tidak kurang dari 70 orang petani termasuk di dalamnya masyarakat adat yang dikriminalisasi di berbagai wilayah di Indonesia sepanjang tahun 2017 hingga sekarang, tersebar di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sulawesi Selatan.
Menjawab tudingan YLBHI, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sofyan Djalil mengatakan, Bank Dunia memberi pinjaman sebesar USD 200 juta atau Rp2,9 triliun bagi program reforma agraria untuk menata Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di sepanjang perbatasan hutan.
Menurut Sofyan, sekitar 4,3 juta pengguna tanah akan memperoleh manfaat dari program tersebut. Diharapkan mampu mempercepat upaya pemerintah di sektor agraria melalui pemetaan partisipatif, layanan informasi tanah elektronik, dan pendaftaran tanah yang sistematis dan lengkap.
“Karena salah satu masalah adalah batas hutan yang tidak jelas sehingga sulit mengeluarkan tanah-tanah di perbatasan hutan. Ini di beberapa provinsi,” ujar Sofyan dikutip Antara, Selasa (24/7).
Pinjaman tersebut juga digunakan untuk peningkatan dan perbaikan sistem di kantor-kantor pertanahan melalui “best practice” yang dimiliki Bank Dunia sekaligus penyediaan tenaga-tenaga terampil.
Sofyan menegaskan, target besar pemerintah adalah mendaftarkan setiap bidang tanah di Indonesia pada 2025. Terdapat sekitar 126 juta bidang tanah di Indonesia, di mana 51 juta di antaranya telah memiliki sertifikat.
Direktur Jenderal Infrastruktur Keagrariaan Kementerian ATR/BPN Adi Darmawan mengatakan Bank Dunia bersedia membantu program reforma agraria melalui pemetaan lahan yang berbatasan (buffer zone) dengan perhutanan. Ia menegaskan, area abu-abu (grey area) tersebut ditemukan di tujuh provinsi di Kalimantan dan Sumatera. Dengan inisiatif Bank Dunia dan sesuai Inpres Nomor 2/2018 tentang Percepatan PTSL, maka “buffer zone” dipetakan.
“Dana bank dunia untuk penguatan infrastruktur. Karena untuk pemberian haknya, sama dengan PTSL, yaitu dengan dana rupiah murni,” tutur Adi.