JAKARTA – Calon gubernur Sumatera Utara, Letnan Jenderal (Letjen) Edy Rahmayadi memiliki cacat sejarah dalam rekam jejak kepemimpinan. Edy yang telah satu tahun memimpin Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dinilai telah gagal karena tidak menghasilkan prestasi bagi PSSI.

Target terdekat yang saat itu dicanangkan Edi, yakni emas Sea Games, gagal direngkuh. Timnas hanya mampu meraih perunggu.
Tidak hanya itu, kondisi kompetisi Go-Jek Traveloka Liga 1 juga belum menunjukkan perbaikan berarti–bila tidak ingin disebut semrawut. Khususnya, sejak pertengahan musim hingga mendekati akhir.
Dimulai dari kewajiban penggunaan pemain U-23 di tiap pertandingan; kemudian ditangguhkan di tengah kompetisi. “Selama 32 tahun melatih, saya tak pernah menemukan pergantian peraturan di tengah kompetisi,” ucap Robert Rene Alberts, Juli silam.
Lalu, tak lama kemudian, PSSI membuat peraturan ajaib. Yakni “play-off khusus” di Liga 2 antara Persewangi Banyuwangi vs. PSBK Blitar, pada Selasa (10/10).
Belum juga masalah tersebut kelar, sehari setelahnya, Liga Indonesia tercoreng dengan kematian seorang suporter Persita Tangerang, Banu Rusman. Banu tewas dikeroyok suporter PSMS Medan–yang mayoritas personel TNI dari Divisi 1 Kostrad Cilodong.
Dan, tentu saja, hukuman kepada Mitra Kukar saat memainkan laga melawan Bhayangkara FC. Lewat keputusan Komdis PSSI, laga yang seharusnya berakhir imbang tersebut, dianulir. PSSI “memberi hadiah” Bhayangkara kemenangan 3-0.
Edy mengaku gagal memimpin PSSI. “Saya gagal. Tahun ini saya gagal. Gagal yang saya maksud target saya,” kata dia.
Selain soal prestasi, Edy juga mengakui kegagalannya membangun sistem kerja di PSSI yang lebih baik. Dia juga mengaku gagal menghadirkan kompetisi sepak bola nasional yang sehat juga sportif.
Edy bisa saja mengakui kegagalannya itu. Tapi, tidak sedikit masyarakat yang kadung kecewa dengan segala kebijakan PSSI dan juga penyelenggara Liga Indonesia, PT Liga Indonesia Baru.
Misalnya saja, manajer Madura United, Haruna Soemitro. “Selamat kepada Bhayangkara FC yang sudah menjuarai liga lelucon ini. Dalam bahasa Jawa, gojek ya guyonan (lelucon),” ujarnya.
Bukan hanya Haruna, demikian juga dengan sejumlah pemain di Liga Indonesia. Seperti pencetak gol terbanyak Liga Indonesia, Sylvano Comvalius. Menurut penyerang Bali United tersebut, Liga Indonesia tak ubahnya Liga Sirkus.
Comvalius tak sendiri. Rekannya di Bali United, Irfan Bachdim mengatakan tak ingin bermain untuk PSSI karena keputusannya memberikan “hadiah” kepada Bhayangkara tadi.
“Saya tidak mau main untuk PSSI kalau keputusan mereka seperti ini,” ucap Irfan.
Hal yang sama juga dikemukakan rekan Comvalius lainnya di Bali United, Abdurahman.
“Tidak ada gunanya sama sekali kami pemain berjuang mati-matian tapi tiba-tiba ada keputusan seperti ini. Ini tidak adil” ujar Abdurahman.
Kekecewaan juga diungkapkan Hamka Hamzah, bek PSM Makassar. Demikian juga dengan gelandang Persija Jakarta, Ramdani Lestaluhu.
Kementerian Pemuda dan Olahraga Indonesia juga senada dengan para pemain. Kemenpora bahkan menegur PSSI lewat surat bernomor 11.9.1/Menpora/XI/2017.
Dalam surat tersebut berisi empat catatan penting yang diminta Menpora Imam Nahrawi kepada PSSI. Salah satunya PSSI diminta tidak membuat keputusan yang tidak konsisten.
“Tidak ada lagi melakukan perubahan-perubahan sanksi/hukuman atau law of the games secara tiba-tiba dan cenderung tak konsisten, karena berpotensi mencederai kepercayaan publik,” bunyi poin nomor 3.
Kekecewaan juga dirasakan para netizen. Mereka memaki melalui media sosial Twitter. Bahkan, warganet menyerbu akun Instagram FIFA di @fifaworldcup untuk meminta wadah tertinggi sepak bola dunia itu melihat fakta kinerja PSSI. *