JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan besaran utang Indonesia saat pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dipertanggungjawaban. Karena pengelolaan dilakukan secara hati-hati, bijaksana dan transparan.

Menurut Menkeu, utang Indonesia secara presentase lebih kecil dari gross domestic bruto (GDP). Ia menjelasan pada 2004, saat menjadi anggota kabinet di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), size ekonomi Indonesia hanya Rp2.400 triliun sementara utang Rp1.200 triliun. Dengan demiian, utang terhadap GDP separuhnya.
“Sekarang orang melihat utang Indonesia Rp3.400 triliun banyak banget, tiga kali lipat. GDP kita Rp13.600 triliun, jadi secara prosentase, utang Rp3.400 triliun kecil dari Rp1.200 triliun dibanding size ekonominya,” kata Menkeu dalam sebuah acara talkshow di sebuah televisi nasional.
Menkeu menuturkan, saat 1997-1998, yaitu pergantian Presiden Soeharto ke masa reformasi, terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan negara harus menanggung perbaikan sektor keuangan. Jumlah itu mencapai 100 persen dari total GDP. Tambahan utang yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sektor keuangan.
“Sehingga semenjak itu, utang terhadap GDP membuat setiap kali bernafas, berat sekali,” ujarnya.
Sri Mulyani menjelaskan, Presiden setelah Soeharto lengser harus melakukan upaya penghematan agar APBN sehat dan tidak mengalami krisis utang. Ia kemudian mengaja amsyarakat agar tidak terjebak dengan propaganda fitnah.
“Saya ajak masyarakat coba pelototin bagian belanja saja karena itu yang penting. Masyarakat mengatakan saya dapat apa dari belanja itu. Ada yang mendapat subsidi beras, pupuk, listrik, gaji, infrastrutur ada irigasi masuk ke sawah saya. Jadi begitu banyak di APBN yang orang mengatakan, ini bermanfaat enggak untuk kami,” tuturnya.
Menkeu menekankan, tidak ada negara di dunia ini bebas utang. Negara adidaya Amerika Serikat, Jepang dan Singapura yang terlihat hebat, tidak lepas dari utang.