JAKARTA – Politik transaksional yang dilakukan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) terhadap mantan Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti membuka kedok dunia politik oleh Gerindra. Sebuah preseden dan pendidikan politik yang buruk karena politik itu ibarat perampok berkedok polisi.

Seperti yang dikatakan Saiful Huda Ems. Dalam tulisannya yang dimuat dalam redaksiindonesia.com, Saiful menyebut, politik mahar menjadikan calon kepala daerah tidak independen dan idealis.
Duit yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk mahar, membuat kepala daerah harus berputar otak mengembalikan mahar ketika terpilih. Hal itu sangat merugikan untuk masyarakat sebagai pemilih dari kepala daerah tersebut. Kebijakan yang diambil kepala daerah akan pragmatis. Visi dan misi yang sudah diungkap kepala daerah saat kampanye akan terpasung.
Saiful kemudian membandingkan politik yang terjadi di luar negeri. Para politisi yang mau maju mencalonkan diri sebagai pemimpin, tidak akan dimintai uang oleh ketua partai untuk menjaga idealisme dan independensinya.
Warga yang akan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah atau Kepala Negara akan didanai oleh pengusaha-pengusaha yang tertarik dengan visi misinya. Dengan demikian sang calon akan fokus bekerja tanpa dibebani oleh keinginan untuk mengembalikan modal, karena semua uang untuk kegiatan politik menjelang dan selama kampanye didapat dari para pendukungnya.
Sistem demikian menjadikan calon konstituen akan dengan mudah dapat melihat siapa-siapa penyumbang dana untuk semua calon. Jika konstituen berpikir para donatur dan calon itu visinya sama dengan mereka, maka mereka akan mendukung. Demikian pa jika yang terjadi sebaliknya, mereka tak kan mendukung atau memilih.
Praktik demokrasi tersebut terbukti dapat meminimalisir politik kepentingan pribadi, karena semua calon rata-rata maju mencalonkan diri murni hanya bermodalkan ide atau gagasan.
Berikut tulisan lengkap Saiful:
Setelah milyaran uangnya diperas oleh bos partainya sekarang sang bakal calon Kepala Daerah marah-marah. Kan sudah sering saya katakan, dia itu perampok berkedok politisi, kenapa baru banyak yang mulai sadar sekarang?.
Di luar negeri para politisi yang mau maju mencalonkan diri sebagai pemimpin, dia tidak akan dimintai uang oleh ketua partai untuk menjaga idealisme dan independensinya.
Seorang yang hendak mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah atau Kepala Negara akan didanai oleh pengusaha-pengusaha yang tertarik dengan visi misinya.
Dengan demikian sang calon akan fokus bekerja tanpa dibebani oleh keinginan untuk mengembalikan modal, karena semua uang untuk kegiatan politik menjelang dan selama kampanye didapat dari para pendukungnya.
Calon konstituen akan dengan mudah dapat melihat siapa-siapa penyumbang dana untuk semua calon, kalau konstituen berpikir para donatur dan calon itu visinya sama dengan mereka, maka mereka akan mendukung. Pun demikian jika yang terjadi sebaliknya mereka tak kan mendukung atau memilih.
Praktik pesta demokrasi di luar negeri khususnya yang ada di Barat yang seperti itu terbukti dapat meminimalisir politik kepentingan pribadi, karena semua calon rata-rata maju mencalonkan diri murni hanya bermodalkan ide atau gagasan.
Tidak seperti kebanyakan yang terjadi di negeri ini, para calon Kepala Daerah atau Kepala Negara sebelum dicalonkan harus membayar mahar milyaran rupiah ke elit partainya. Ini sebenarnya mereka mau diusung oleh partainya menjadi calon pemimpin atau jadi calon perampok?..